Tentu banyak orang tua
mendambakan putra-putrinya bisa berprestasi di berbagai bidang, entah itu akademik,
seni, agama, olahraga atau yang lainnya. Tidak sedikit pula orang tua yang
akhirnya “menuntut”kan dambaan atau harapannya tersebut kepada putra-putrinya. Ditambah dengan komersialisasi sekolah, adu
perolehan gelar antar sekolah menjadi semakin marak. Sekolah yang paling banyak
mengkoleksi piala di rak tropi, akan menjadi sekolah yang dianggap berhasil
mendidik siswa-siswinya dan dinilai bonafit. Derajat sekolah terangkat dan pada gilirannya akan banyak orang tua akan mendaftarkan purta-putrinya ke sekolah tersebut.
Seni adalah salah satu bidang prestasi
yang diminati. Seni dalam hal ini seni rupa (lebih spesifiknya: seni melukis, menggambar dan mewarnai) merupakan cabang seni yang di usia
dini sering menjadi pilihan orang tua sebagai media belajar anak-anak mereka.
Oleh sebab itu tidak sedikit orang tua yang memasukkan anak-anak mereka ke sebuah sanggar
lukis atau bahkan menghadirkan guru lukis ke rumah untuk belajar secara privat. Demikian
pula sekolah, yang juga secara khusus mengadakan mata pelajaran menggambar
sebagai kegiatan intrakulikuler atau ekstrakulikuler. Ini didukung oleh banyak pendapat bahwa seni lukis adalah salah satu media efektif untuk mengembangkan imajinasi dan melatih kemampuan motorik dan sekaligus media ekspresi, khususnya di usia dini.
Ironisnya, yang terjadi disaat
ini, orang tua maupun sekolah lebih berorientasi ke hasil, kebanggaan dengan karya lukisan yang dinilai bagus atau menjuarai perlombaan melukis. Ini kadang-kadang membuat mereka melupakan hal yang justru paling penting, yaitu
mendidik anak-anak agar mampu berekspresi dan berjiwa merdeka, dan bahwa
semuanya itu hanyalah alat atau cara untuk mengelola potensi faktual
menjadi aktual, yang pasif menjadi aktif terasah dan terekspresikan.
Anak-anak banyak mendapat tekanan
demi prestasi yang berorientasi predikat juara. Sebagai contoh: anak-anak TK diberi tugas untuk menyelesaikan sebuah gambar di kertas
ukuran A3 dengan diwarnai penuh dalam waktu 3 jam, ketika mengikuti
lomba demi mendapatkan gelar juara, piagam penghargaan dan piala. Pengajaran menggambar di usia TK atau pra SD seharusnya lebih menitik-beratkan pada pengenalan konsep dasar bentuk dan warna serta melatih motorik kasar dan halus secara bertahap.
Anehnya, yang terjadi adalah anak-anak yang belum genap 6 tahun tersebut sudah dituntut
untuk mampu mewarnai secara gradasi (kombinasi transisi antara dua atau lebih
warna secara halus) dan sayangnya itu sudah menjadi hal yang lazim di
sekolah Taman Kanak-kanak di sekitar kita. Maka muncul sebuah standarisasi tak
tertulis mengenai gaya atau tipe lukisan anak yang "layak juara", dan itu
juga diajarkan di kebanyakan sanggar lukis maupun guru-guru lukis privat. Alih-alih mengelola potensi anak, mereka justru berusaha menyeragamkan kemampuan
anak agar mereka menguasai kemampuan tertentu dan siap dilombakan. Bukankah itu justru
akan berpotensi menghambat tumbuhnya kreatifitas anak, membelenggu imajinasi
dan mengurung jiwa mereka?
Maka kenali anak-anak kita, temani
mereka mengekplorasi kehidupan ini, bahwa hidup bukan hanya tentang menang dan kalah. Jadikan rasa ingin tau mereka semangat untuk belajar
lebih. “Tak kenal maka tak sayang”, jadi sebenarnya cara menyayangi anak-anak
adalah dengan mengenali siapa mereka, kemampuan, potensi dan kebutuhan mereka. Ini bukan
tentang keinginan dan harapan orang tua belaka.
No comments:
Post a Comment